Strategi dan Tantangan Integrasi Jaringan Pasca Merger

Diposting pada

webhostdiy.com – Dalam setiap merger operator seluler, fase paling menantang justru bukan terletak pada upaya meningkatkan pendapatan atau mengelola sumber daya manusia (SDM) yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran rekan baru yang memiliki budaya dan struktur gaji berbeda. Fokus utama justru berada pada proses integrasi teknis yang sangat rumit, yaitu mengonsolidasikan ribuan Base Transceiver Station (BTS) atau menara pemancar yang kini saling tumpang tindih pascagabungan. Tujuan utamanya adalah mengoptimalkan seluruh spektrum frekuensi yang dimiliki agar dapat memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.

Masalah integrasi BTS ini selalu muncul dalam setiap merger. Banyak menara BTS gabungan yang letaknya berhimpitan, sehingga sebagian harus dipindahkan ke lokasi lain. Pemindahan ini dapat dilakukan dengan berkolokasi (menumpang) pada menara BTS yang sudah ada atau membangun menara baru di lahan yang masih kosong (green field). Sebagai contoh, dari total 211.864 BTS milik XL Axiata dan Smartfren (XL Smart), sebanyak 53.000 BTS harus dipindahkan. Langkah strategis ini justru membawa dampak positif, di mana cakupan layanan mereka semakin luas dan secara otomatis menarik lebih banyak pelanggan baru.

Selain menata BTS yang sudah ada, operator juga menghadapi kewajiban dari pemerintah untuk membangun BTS baru di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang belum terjangkau internet. Sebagai ilustrasi, XL Smart mendapat mandat membangun 8.000 BTS baru, sementara Indosat pascamerger dengan Tri harus membangun 10.000 BTS. Saat ini, dari sekitar 284,4 juta penduduk Indonesia, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat masih ada 55 juta orang yang belum merasakan layanan internet. Mereka umumnya tinggal di wilayah seperti sebagian Papua, NTT, dan Kalimantan, yang hanya menyumbang sekitar 1,91% dari total 229,4 juta pengguna internet nasional.

Pengalaman Indosat pascamerger menjadi bukti nyata manfaat dari integrasi jaringan yang sukses. Dengan memindahkan sekitar 43.000 BTS, mereka berhasil memperluas jangkauan hingga ke 700 kecamatan dan 10.000 desa/kelurahan. Pada tahun pertama merger (2022), Indosat berhasil merekrut 10 juta pelanggan baru, sehingga totalnya mencapai 100,7 juta. Meskipun kemudian jumlahnya turun lagi menjadi 95,4 juta karena adanya pembersihan nomor-nomor tidak aktif, langkah ini menunjukkan komitmen mereka terhadap efisiensi.

Pada intinya, tantangan terberat dalam sebuah merger adalah bagaimana mengintegrasikan jaringan dari masing-masing operator, seperti yang kini dihadapi XL Axiata dan Smartfren. Proses ini tidak hanya memakan waktu lama, tetapi juga menguras tenaga dan sumber daya. Bahkan, dalam beberapa kasus global, kegagalan atau kelambatan dalam integrasi jaringan—yang paling cepat berlangsung dua tahun—dapat menggagalkan seluruh proses merger yang telah direncanakan.

Penerapan Teknologi MOCN dan Peran Penting Tim Integrasi

Integrasi jaringan pada dasarnya merupakan proses penggabungan dan optimalisasi seluruh aset BTS dari operator yang bergabung. Tujuannya jelas: meningkatkan pengalaman pelanggan, menciptakan efisiensi operasional, dan memperluas cakupan layanan. Indosat, di bawah kepemimpinan Presiden Direktur dan CEO Vikram Sinha, mengklaim diri sebagai operator telekomunikasi pertama di dunia yang berhasil menyelesaikan proses integrasi secepat satu tahun. Pencapaian ini sangat impressive mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari lebih dari 17.000 pulau.

Sejak 2023, pelanggan baru Indosat sudah dapat merasakan manfaatnya, yaitu jangkauan jaringan yang lebih luas, kualitas layanan dalam ruangan yang 32% lebih baik, dan kecepatan internet yang meningkat hingga dua kali lipat. Peningkatan kecepatan unduh dan penurunan latency sekitar 20% juga secara signifikan meningkatkan pengalaman pengguna dalam menikmati layanan video streaming dan gaming.

Pengalaman sukses Indosat ini rupanya menjadi pelajaran berharga bagi XL Smart. Mereka pun mengangkat Sanjay KGA Vaghasia, yang sebelumnya menjabat Chief Integration Officer di Indosat pada periode 2021-2024, untuk menduduki posisi Direktur Integrasi. Langkah ini menunjukkan keseriusan XL Smart dalam menangani proses integrasi yang kompleks ini.

Memanfaatkan Spektrum Frekuensi untuk Kapasitas dan Cakupan

Strategi integrasi yang dijalankan XL Smart memiliki perbedaan mendasar dengan Indosat. Indosat banyak berkutat pada refarming spektrum frekuensi rendah seperti 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz untuk menata ulang alokasi frekuensinya. Sementara itu, XL Smart memiliki portofolio spektrum yang unik, yakni gabungan teknologi FDD (Frequency Division Duplexing) milik XL Axiata di spektrum 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz, serta teknologi TDD (Time Division Duplexing) di spektrum 2300 MHz warisan dari Smartfren.

Perbedaan teknologinya sangat fundamental. Teknologi FDD menggunakan sepasang frekuensi terpisah untuk upload dan download, sedangkan TDD menggunakan satu frekuensi yang sama yang bergantian digunakan untuk upload dan download. Spektrum 2300 MHz termasuk frekuensi menengah dengan jangkauan yang sempit, hanya sekitar 100 meter hingga satu kilometer. Sebaliknya, spektrum rendah seperti 900 MHz dapat menjangkau hingga radius lima kilometer.

Karena jangkauannya yang pendek, untuk meliput area yang sama dengan satu BTS 900 MHz, dibutuhkan 10 hingga 20 BTS 2300 MHz. Namun, keunggulan besar BTS 2300 MHz terletak pada kapasitasnya yang sangat besar. Satu BTS tersebut dapat melayani lebih banyak pelanggan sekaligus. Inilah mengapa BTS frekuensi menengah biasanya dipasang di kawasan perkotaan yang padat dan sibuk.

Keberadaan spektrum 2300 MHz ini menjadi keuntungan strategis bagi XL Smart. Mereka tidak hanya dapat menambah jumlah pelanggan di area padat, tetapi juga berpotensi meningkatkan Average Revenue Per User (ARPU) karena pelanggan di kawasan bisnis biasanya lebih aktif dan membutuhkan layanan data yang tinggi. Di sisi lain, spektrum rendah tetap sangat dibutuhkan untuk membangun cakupan di daerah pedesaan dan rural yang kepadatan penduduknya rendah, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam mengakses layanan digital.