Jakarta, webhostdiy.com – Dulu, HP Siemens pernah menjadi idaman banyak orang, termasuk di Indonesia, terutama di era 2000-an. Mereka sempat menjadi pesaing serius bagi raksasa seperti Nokia dan Motorola yang saat itu mendominasi pasar ponsel dunia. Namun, siapa sangka, akhirnya Siemens justru tumbang dengan begitu cepat.

Di tahun 2000, CEO Siemens, Heinrich von Pierer, dengan penuh percaya diri mengumumkan ambisinya. “Kami akan menguasai pasar ponsel dunia. Kami yakin bisa menggeser Nokia, Motorola, dan Ericsson!” serunya saat itu. Dan memang, Siemens sempat menunjukkan taringnya.
Pada tahun yang sama, pangsa pasar Siemens mencapai 8,6%, hanya kalah dari tiga raksasa tersebut. Bahkan di 2003, posisinya masih stabil dengan market share 8,5% secara global. Namun, mulai 2004, penurunan drastis terjadi. Market share mereka merosot jadi 7,2%, dan perusahaan mulai menanggung kerugian besar. Yang lebih parah, di kuartal pertama 2005, angka itu semakin anjlok hingga tinggal 5,6%.
Baca juga HP OnePlus Ace 5: Racing & Ace 5 Ultra Resmi Rilis! Mirip Tapi Beda Spesifikasi

Banyak analis dan pakar industri dibuat bingung dengan kemunduran Siemens yang begitu cepat. “Faktanya, Siemens tidak melakukan kesalahan fatal apa pun,” ungkap Roland Pitz, seorang analis di HypoVereinsbank.
Seorang eksekutif Nokia Jerman punya pendapat berbeda. Menurutnya, keruntuhan Siemens terjadi karena kombinasi kecelakaan, kesombongan, salah perhitungan, dan kelalaian. Pertama, Siemens dinilai kurang agresif di luar Eropa. Pasar AS dan Asia tidak digarap maksimal, sehingga mereka kehilangan peluang besar.
Selain itu, Siemens terlambat menyadari perubahan tren. Di saat usia produk ponsel semakin pendek, mereka justru ketinggalan dalam meluncurkan model baru. Samsung dan Nokia saat itu bisa mengeluarkan 80 model per tahun, sementara Siemens hanya mengandalkan produk lama.
Siemens sebenarnya cukup cepat menangkap tren ponsel sebagai aksesori fashion. Mereka menciptakan Xelibri, ponsel unik yang dijual di butik seperti perhiasan. Sayangnya, strategi ini gagal total.
Ponsel mewah mereka ternyata kurang nyaman untuk pengguna biasa, sementara kalangan high-end enggan membeli karena bahannya terkesan murah. “Produknya terlalu niche, tidak menyentuh pasar mainstream,” komentar seorang pengamat.
Masalah lain datang dari sisi inovasi. Ketika kompetitor sudah memasang kamera internal, Siemens masih menggunakan kamera plug-in eksternal. “Mereka terus-terusan terlambat dalam inovasi krusial, dan itu akhirnya menghancurkan mereka,” tegas Theo Kitz, analis Merck Finck.
Di tahun 2005, divisi ponsel Siemens sudah merugi USD 530 juta. Mereka pun terpaksa menjual bisnisnya ke BenQ. Namun, langkah ini tidak banyak membantu. Perlahan tapi pasti, Siemens akhirnya benar-benar menghilang dari pasar ponsel.
Jadi, apa pelajaran dari kisah ini?
- Kecepatan inovasi kunci utama – Siemens kalah karena lambat beradaptasi.
- Pasar global harus digarap serius – Fokus hanya di Eropa membuat mereka kehilangan peluang.
- Tren harus dibaca dengan tepat – Produk gagal seperti Xelibri jadi bukti salah strategi.
Baca juga Meizu Resmi Kembali Di Indonesia! Luncurkan HP mBlu 21 Harga Mulai Rp 900 Ribuan!
Siemens mungkin sudah tiada, tapi kisahnya tetap jadi pelajaran berharga bagi industri teknologi. “Kalah bukan karena salah besar, tapi karena terlalu lambat bergerak.”